Jumat, 01 Mei 2009

Golput muncul sebagai bentuk protes

14.44 by Anak nongkrong ·
Label:


Angka golput pemilu 2009 diperkirakan tertinggi sepanjang sejarah pemilu Indonesia. Bahkan diprediksi dapat mencapai 40 persen. Indikasinya, menurut Lingkaran Survey Nasional (LSN), rata-rata angka golput pilkada di beberapa provinsi mencapai 38 sampai 40 persen. Tak ada satu pun partai politik yang mampu memperoleh suara sebanyak itu. Itulah faktanya, golput “berhasil” memperoleh suara terbanyak dibandingkan perolehan suara partai politik.

Golput bukan hal yang baru. Sejarah golput dapat dikatakan seumur dengan pemilu itu sendiri. Sayangnya, meningkatnya angka golput disikapi oleh beberepa pihak secara apatis dan terkesan panik . Mungkin bingung dan khawatir. Golput dianggap sebagai sikap yang tidak bertanggung jawab sebagai warga negara. Golput juga dituding penyebab terpilihnya anggota legislatif dan presiden yang tidak mempunyai kapabilitas dan integritas. Golput tidak akan merubah keadaan Indonesia menjadi lebih baik. Golput dianggap pengecut maka tidak pantas hidup di Indonesia. Itu saja dianggap belum cukup, maka golput dibawa kedalam area agama dengan mengharamkannya. Duh!

Pada awalnya, Golput muncul sebagai bentuk protes sekelompok masyarakat dengan terhadap sistem pemilu. Kemudian melebar sebagai bentuk kekewaan terhadap keadaan Indonesia yang tidak kunjung membaik. Sebagai sebuah ekspresi silent protest terhadap perilaku para pemimpin yang tidak pantas diteladani. Wujud ketidakpuasan kebijakan dan tindakan pelaku pemerintahan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Golput merupakan manifestasi bersuara rakyat dengan cara yang lain. Golput sebagai pilihan untuk tidak memilih pilihan yang tersedia.

Partisipasi dalam pemilu adalah hak setiap warga negara. Dan sebagai hak, setiap warga negara mempunyai kebebasan dalam menggunakan haknya tersebut. Selayaknya harus dihargai sebagaimana halnya menghargai pilihan warga negara lain dalam memilih partai politik. Menyikapi fenomena golput tidak cukup sekedar menyalahkan pihak yang golput. Mengatasi dan mengurangi golput sasarannya bukan hanya pihak yang golput saja. Melainkan juga pemicu golput itu sendiri. Mencari penyebab golput dan memilih solusi yang terbaik.


Warga negara yang mengambil sikap dengan kesadaran untuk memilih golput merupakan masyarakat yang mempunyai kemampuan analisa dan pertimbangan untuk bersikap. Sehingga tidak mempan hanya dengan anjuran, gertakan dan fatwa haram. Seperti yang dikatakan seorang kawan menyikapi fatwa haram bagi golput. Dia meminta agar ulama menfatwakan dahulu sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia ini, apakah haram atau halal. Karena partisipasi pemilu hanyalah cabang dari sistem pemerintahan itu sendiri. Sementara sistem pemerintahan sebagai pokoknya tidak difatwakan apakah sesuai dengan syariah Islam.

Golput memang tidak menganulir hasil pemilu. Seberapapun besarnya golput, caleg atau capres yang memperoleh suara terbanyak akan memimpin negeri ini. Ada pengamat politik yang mengatakan kalau ingin merubah sistem masuklah dalam sistem itu sendiri. Jangan golput, karena itu berarti di luar sistem. Beberapa pendapat itu benar jika ditinjau dari legal formalnya.

Tetapi tidak pada substansinya. Faktanya, pemilu tahun 1999 dengan tingkat partisipasi yang tinggi pun, ternyata tak menghasilkan pemimpin negeri yang punya kapasitas dan integritas. Banyak anggota DPR dan DPRD yang berasal dari aktifis, kyai dan tokoh masyarakat pun mandul dan tak bernyali ketika sudah masuk ke dalam sistem itu. Tingginya golput semestinya ditangkap sebagai sebuah pesan oleh para pemimpin negeri, bahwa ada yang salah dan harus segera dibenahi di negeri ini.

Seorang kawan lain mengatakan golput merupakan tindakan bodoh. Sia-siakan kesempatakan sekali dalam 5 tahun. Bagaimana bangsa ini berubah ke arah lebih baik jika masih golput. Salah satu wartawan senior Harian Kompas mengatakan Pemilu 1999 merupakan masa pacaran antara pemilih dengan parpo, Pemilu 2004 masa perkawinan dan Pemilu 2009 mungkin saja masa perceraian antara pemilih dengan parpol. Jadi bisa jadi golput disebabkan pengkhianatan yang dilakukan oleh partai politik terhadap aspirasi rakyat.

Konon dalam atmosfir demokrasi berlaku asas Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Demikian agung dan bernilainya suara rakyat hingga disetarakan dengan suara Tuhan. Suara Tuhan yang disuarakan oleh rakyat itu berusaha disampaikan kepada wakil di DPR, DPD, DPRD, Presiden dan lembaga lainnya. Namun ternyata “suara tuhan” itu tidak disampaikan oleh para pengemban amanat suara rakyat itu. Wakil rakyat itu telah mengkhianati suara rakyat. Tidak lagi mengakui suara Tuhan.

Menyalahkan dan mengkambinghitamkan golput bukan tindakan yang lebih bijaksana dari golput itu sendiri. Tanpa instropeksi diri dan tindakan nyata terhadap pemicu dan penyebab golput itu sendiri. Golput juga bukan tindakan sia-sia, jika pemimpin yang terpilih nanti terbukti mempunyai hati nurani. Ketidakpedulian terhadap golput dan penyebabnya hanya memberikan justifikasi terhadap tindakan golput itu sendiri. Sebaliknya jika terbukti pemimpin, wakil rakyat dan pengemban amanat itu mempunyai hati nurani dan solusi, maka bisa jadi golput hanya tinggal mimpi.

Apapun pilihanmu dalam pemilu 2009 nanti, pilihlah dengan hati. Meskipun itu pilihan untuk tidak memilih. Golput muncul sebagai bentuk protes, hargai dan hormati sebagaimana golput menghargai pilihan terhadap kontestan pemilu.

0 komentar:

Posting Komentar

translate

Followers

shout box

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x